Terbata berkata-kata, mengucapkan syukurpun dieja. Menggagap kata, mulut kelu hingga mata hampir saja enggan berkedip. Segala proses beku membatu, di bening abjad pun sering mengeluh. Selalu ada jalan menuju pulang. Tersesat di ruang bayang bayang. Jalanan besar dengan beriburibu mata kaki. Raksasa besi beroda-roda besar melintasi. Tak ada petunjuk kembali pulang.

Sebuah pendopo puisi untuk melepas penat, berbagi pikiran, berbagi perasaan atau hanya tempat untuk merenung. Rabu, 14 Juli 2010. Apakah akan selamanya hanya hening. Atau suaraku yang terlampau pelan. Apakah akan selamanya dingin malam menjadi pedang. Walaupun ia yang menjadi satu-satunya teman. O Sang Penganyam Kehidupan apalagi yang kau rencanakan. Dan dimana jatidiriku itu tersembunyikan. Mengapa semakin hari membuka mata, semakin ia temaram. Kini aku serupa orang-orang itu.

Dua perempuan yang sedang bermain dan belajar menjadi kecil dan dewasa. Dua perempuan yang sedang bermain dan belajar menjadi kecil dan dewasa.

Jumat, 26 Oktober 2007. Setelah pertemuanku dengannya hari itu, aku tambah yakin, rubrik zodiak hanyalah bikinan seseorang kurang kerjaan yang hobinya menerka-nerka serampangan. Bahkan sampai hari ini, aku benar-benar yakin, warna ungu adalah pertanda kemuraman dalam hidupku. Seperti muramnya senja hari itu. Asyik sekali dia dengan bacaannya sampai tak menyadari kehadiranku. Bahkan ketika aku telah duduk di sisinya, ia masih bergeming dalam keheningan yang sukar disela.

Aku hanya ingin punya rumah sendiri, sebuah ruang yang menjadi surga bagi diri sendiri, atau justru neraka. ya, disini memuat beberapa sajak firdaus asykar a. Selasa, 15 November 2011. Tentang Seorang Pria yang Mati di Jalan Raya. Tanah basah kuburmu, kupastikan bukan dari. Tanah basah kuburmu adalah guyuran. Dedoa kami, istri dan bocahmu. Yang tetap membangga pada akhir hayatmu.